by: Ilham Achmad
Perkebunan kelapa sawit dewasa ini memang merupakan sebuah bisnis perkebunanan yang menggiurkan bagi pengusaha. Naiknya harga minyak mentah dunia yang diikuti dengan penelitian yang mengatakan bahwa cadangan minyak mentah yang terkandung di dalam perut bumi kian berkurang, memacu para peneliti untuk mengembangkan sebuah energi alternatif pengganti minyak bumi. Energi alternatif yang saat ini sedang di kembangkan di dunia maupun di
Di Kecamatan Penukal Utara dan Penukal Abab yang selama ini penduduknya mengadalkan Karet sebagai komuditas utama daerah, sekarang sudah mulai melirik kelapa sawit sebagai alternatif. Seiring dengan perkembangan ekonomi daerah yang mulai menggeliat pada dasawarsa terakhir ini yang disertakan data geografis dimana daerah ini terdapat banyak lahan tidur dan rawa-rawa, membuat investor mulai melirik daerah ini untuk mengembangkan usaha perkebunan kelapa sawit. Bila dilihat secara geografis kedua kecamatan ini memang terdapat banyak sekali rawa-rawa yang tidak produktif sebab kedua daerah ini terletak di daerah das sungai penukal dan anak sungainya dan sangat ideal untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit sebab kelapa sawit merupakan tanaman yang membutuhkan banyak air.
Dibalik semua keuntungan yang dijanjikan oleh sebuah perkebunan kelapa sawit terdapat berbagai dampak negatif terhadap lingkungan yang tidak dapat dihindari yang mengancam kedua kecamatan ini dimasa-masa yang akan datang diantaranya:
1. Hilangnya hutan hujan tropis (hutan heterogen menjadi Homogen)
Sebagaimana kita ketahui, layaknya perkebunan-perkebunan lain baik karet,
2. Berkurangnya kadar kandungan air tanah.
Mengingat tanaman ini sangat membutuhkan banyak air berdasarkan hasil penelitian sebuah lembaga yang kredibilitasnya tidak diragukan lagi menyebutkan kebutuhan unsur hara dan air tanaman monokultur seperti sawit, dimana dalam satu hari satu batang pohon sawit bisa menyerap 12 liter air (hasil peneliti lingkungan dari Universitas Riau) T. Ariful Amri MSc Pekanbaru/Riau Online), bayangkan kalau jutaan batang pohon bahkan ratusan juta batang pohon sawit yang ditaman berapa banyak tanaman ini akan menyerap air tanah. Mungkin pada dua puluh atau tiga puluh tahun lagi kedua daerah ini akan mengalami kesulitan mendapatkan air/mengalami kekeringan. Dampak ini yang sekarang sudah mulai dirasakan penduduk, dimana di wilayah yang akan dibuka perkebunan kelapa sawit sudah mulai dibuat kanal-kanal penampungan air, daerah yang tadinya terdapat rawa sudah mulai mengering. Keringnya rawa-rawa ini membuat populasi ikan (ikan danau atau rawa) sekarang sudah mulai berkurang sebagai contoh di daerah Danau Burung desa Tempirai dahulunya merupakan andalan desa Tempirai sebagai penghasil ikan air tawar (ikan serandang, toman, gabus, sepat siam, dsb) sekarang sudah sangat berkurang. Bila dahulunya harga lelang lebak lebung Danau Burung laku dijual dengan harga Rp. 60.000.000. – 100.000.000,-(enam puluh juta – seratus juta) pertahun, sekarang harga tersebut terjun bebas ke angka 5.000.000. s.d. 15.000.000.- (lima sampai sepuluh juta rupiah), sebab semenjak dimulainya proyek pembuatan kanal-kanal untuk pembangunan perkebunan kelapa sawit di daerah ini rawa-rawa sudah tidak kita temukan lagi sehingga rawa yang tadinya berfungsi sebagai tempat berkembang biak ikan sudah musnah/hilang.
Sekarang saja khususnya di desa Tempirai bila ingin membuat sumur untuk keperluan MCK saja harus menggali 5 – 15 meter untuk mendapatkan air mungkin setelah perkebunan ini benar-benar berfungsi akan dua kali bahkan 3 4 kali lipatnya karena kandungan air yang ada di dalam tanah mulai berkurang.
Pertanyaannya yang timbul sekarang adalah ”Bagaimana kalau musim kemarau..?. Kalau dahulu saja sungai penukal selalu kering bila musim kemarau, bagaimana setelah perkebunan ini benar-benar telah dibuka..?. Jawabannya tidak perlu saya uraikan lagi karena kita semua mengetahuinya.
3. Berkurangnya keanekaragaman hayati dan ekosistem hutan hujan tropis.
Dibalik penggundulan hutan yang digunakan untuk perkebunan kelapa sawit akan mengurangi keanekaragaman hayati burung, mamalia dan reptilia. Hewan-hewan ini akan kehilangan tempat untuk tinggal dan akan menimbulkan perburuan liar dengan alasan hewan-hewan tersebut sebagai hama/perusak..
4. Persoalan tata ruang, dimana monokultur, homogenitas dan overloads konversi. Hilangnya keaneka ragaman hayati ini akan memicu kerentanan kondisi alam berupa menurunnya kualitas lahan disertai erosi, hama dan penyakit.
5. Munculnya hama migran baru yang sangat ganas karena jenis hama baru ini akan mencari habitat baru akibat kompetisi yang keras dengan fauna lainnya. Ini disebabkan karena keterbatasan lahan dan jenis tanaman akibat monokulturasi.
6. Pembukaan lahan sering kali dilakukan dengan cara tebang habis dan land clearing dengan cara pembakaran demi efesiensi biaya dan waktu. Pencemaran yang diakibatkan oleh asap hasil dari pembukaan lahan dengan cara pembakaran dan pembuangan limbah, merupakan cara-cara perkebunan yang meracuni makhluk hidup dalam jangka waktu yang lama. Hal ini semakin merajalela karena sangat terbatasnya lembaga (ornop) kemanusiaan yang melakukan kegiatan tanggap darurat kebakaran hutan dan penanganan Limbah.
7. Terjadinya konflik horiziontal dan vertikal akibat masuknya perkebunan kelapa sawit. sebut saja konflik antar warga yang menolak dan menerima masuknya perkebunan sawit dan bentrokan yang terjadi antara masyarakat dengan aparat pemerintah akibat sistem perijinan perkebunan sawit.
8. Selanjutnya, praktek konversi hutan alam untuk pembangunan perkebunan kelapa sawit seringkali menjadi penyebab utama bencana alam seperti banjir dan tanah longsor